Tembok Kuno Lasem: Penjaga Identitas dan Warisan Sejarah

Tembok kuno Lasem adalah saksi bisu dari sejarah panjang kota yang terletak di kawasan pecinan, Jawa Tengah. Tembok ini tidak hanya berfungsi sebagai pembatas fisik, tetapi juga merupakan simbol pertahanan kota dan identitas budaya masyarakat Tionghoa yang pernah menetap di sana. Lasem adalah salah satu kota penting di pesisir utara Jawa yang memiliki warisan sejarah panjang, terutama dalam hal perdagangan dan hubungan budaya dengan Tiongkok. Tembok-tembok kuno di kawasan ini berperan penting dalam membentuk identitas Lasem sebagai kota bersejarah. Dengan arsitektur yang megah, tembok-tembok ini terus menarik perhatian pengunjung yang ingin menyelami jejak-jejak sejarah dan keagungan budaya yang pernah berjaya di kota ini.

Tembok kuno sebagai identitas kawasan Pecinan di Lasem

Rumah-rumah tradisional Tionghoa di Lasem memiliki ciri khas yang sangat unik. Salah satu ciri yang menonjol adalah dinding-dindingnya yang tinggi, berfungsi sebagai pembatas antara satu rumah dengan rumah lainnya, sekaligus menjaga privasi dan keamanan. Dinding ini biasanya terbuat dari batu bata atau campuran tanah liat yang dipadatkan, memberikan perlindungan dari ancaman luar dan menjaga kenyamanan di dalam rumah. Dinding-dinding ini juga memiliki fungsi termal, melindungi rumah dari panas matahari dan menjaga suhu di dalamnya tetap sejuk, menciptakan lingkungan yang nyaman meskipun berada di daerah yang panas. Selain itu, dinding-dinding yang tinggi ini menegaskan status sosial penghuni rumah, mencerminkan kehidupan masyarakat Tionghoa di masa lalu yang mementingkan privasi dan ketahanan.

Tipikal rumah China di Lasem dengan tembok sekelilingnya

Namun, seiring berjalannya waktu, tembok-tembok kuno ini menghadapi berbagai tantangan, terutama dari tekanan lingkungan (Sabaa, Mujtaba et al., 2022) dan pembangunan modern. Faktor alam seperti kelembapan, garam, dan perubahan iklim telah mempercepat kerusakan struktur tembok (Tafeng et al., 2023). Aktivitas manusia, seperti pembangunan untuk keperluan komersial, juga menjadi ancaman serius bagi kelestarian tembok-tembok ini. Menurut data terbaru, dari total 8.599 meter tembok asli yang ada di Lasem, 830 meter telah hancur, sementara 688 meter telah dimodifikasi. Kerusakan ini semakin diperparah oleh keterbatasan akses untuk survei menyeluruh, yang membuat para peneliti sulit mendapatkan gambaran lengkap tentang kondisi tembok kuno di seluruh kota. Kebanyakan survei hanya bisa dilakukan pada bagian depan bangunan, sehingga potensi kerusakan yang terjadi di bagian lain sulit terdeteksi.

Kondisi tembok kuno di Lasem yang masih asli, sudah dimodifikasi, dan yang telah hancur

Melestarikan tembok kuno Lasem tidak hanya berarti menjaga fisik bangunan, tetapi juga mempertahankan jati diri kota sebagai pusat sejarah dan budaya. Tembok-tembok ini menyimpan cerita tentang komunitas Tionghoa yang dahulu memainkan peran penting dalam perdagangan di Asia Tenggara, serta bagaimana mereka mempertahankan tradisi dan identitas mereka di tanah Jawa. Oleh karena itu, upaya konservasi harus melibatkan penelitian yang mendalam, kolaborasi antara para ahli sejarah, arsitektur, dan pelestarian budaya, serta dukungan kebijakan pemerintah. Masyarakat setempat juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses ini, karena merekalah yang paling dekat dengan warisan budaya ini dan memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikannya.

Sebagai bagian dari warisan budaya, tembok kuno Lasem memerlukan perhatian yang serius dan sistematis dalam setiap upaya pelestariannya. Setiap pekerjaan fisik yang melibatkan perbaikan atau renovasi tembok harus mempertimbangkan dampaknya terhadap nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya. Pengambilan keputusan dalam konservasi harus didasarkan pada prinsip pelestarian berkelanjutan, yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal dan prioritas terhadap perlindungan identitas sejarah kota. Pelestarian ini tidak hanya bertujuan untuk menjaga tampilan fisik kota, tetapi juga untuk memastikan bahwa warisan sejarah dan budaya Lasem dapat terus diceritakan dan diwariskan kepada generasi mendatang (Snyder, J. C., & Catanese, 1979).

 

Penulis :

Mutiawati Mandaka