Design Thinking – Sebuah Metoda dalam Proses Desain

Tulisan ini bukan bermaksud menggurui para senior dan teman sejawat seusia, tetapi berbagi pemikiran kepada teman-teman Arsitek Muda tentang proses desain. Kali ini pembahasan tentang penyusunan Konsep Desain menggunakan metoda Design Thinking . Dalam pengalaman menjadi arsitek sekaligus juga dosen arsitektur, metoda ini menjadi alat yang sangat efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir, menambah keyakinan saat memecahkan masalah, dan mencapai pemecahan yang inovatif. Proses desain adalah sebuah langkah bertahap mulai dari melakukan analisis, sintesis, kemudian evaluasi yang cermat terhadap informasi, data, identifikasi permasalah dan pemecahanmya yang mungkin diulang-ulang sampai dirasakan sudah cocok dengan apa yang ingin dicapai. Sehingga proses desain ini seperti sebuah siklus, yang dalam bahasa mahasiswa arsitektur sebagai feed back.

Apakah design thinking itu? Design thinking (berpikir desain) identik dengan inovasi dan berpikir out-of-the-box. Cara berpikir tentang sebuah penciptaan dengan cara berpikir kreatif yang didasarkan pada persepsi, kemungkinan-kemungkinan, melakukan analisis, menemukan fakta, dan memberikan alasan yang kuat atas keputusan desain yang diambil yang sifatnya penemuan baru. Berbeda dengan cara berpikir tradisional biasanya didasarkan pada pengenalan pola, kemudian dianalisis, dinilai dan dilogika sehingga hasil produk sifatnya memperbaiki. Nah, bagaimana cara menerapkan Design Thinking ke dalam Konsep Desain Arsitektur?

Terdapat beberapa metode Design Thinking, dan yang dibahas di sini metoda yang memiliki tahapan yaitu : Mempelajari (Learn), Mendefinisikan (Define), Meneliti (Research), Menginspirasi (Ideate), Menciptakan Model (Prototype), Memilih (Choose), dan Melaksanakan (Implement).

  1. Mempelajari (learn), adalah untuk mempelajari kebutuhan pengguna atau pengguna dengan cara mengembangkan empati terhadap mereka. Arsitek perlu mengembangkan kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan, kebutuhan, dan keinginan pengguna tentang desain bangunan yang akan digunakannya. Sehingga kita dapat merancang solusi yang cocok, fungsional, sesuai dengan harapan pengguna. Pada tahap ini kita perlu melihat kondisi lingkungan di sekitar lokasi, mewawancarai pengguna, ditambah survey lokasi untuk mengumpulkan data seperti luas lahan, konsur site, kondisi arus lalu lintas, arah mata angin dan iklim setempat, kemudian dianalisis supaya teridentifikasi apa saja kebutuhan pengguna, dan bagaimana cara mengoptimalkan lahan. Diskusi dalam tim perencana juga dengan pengguna bisa membantu memahami keinginan pengguna, manfaatnya untuk mendapatkan informasi-informasi baru, pandangan baru, mengidentifikasi masalah potensial yang mungkin belum tertangkap “mata” sehingga tercipta sebuah desain dengan pendekataan kolaboratif dalam proses perancangannya.
  2. Mendefinisikan (Define), adalah mengumpulkan informasi yang telah kita pelajari untuk masuk ke tahap proses perancangan. Mulai dengan menganalisis dan merumuskan permasalahan untuk diselesaikan. Tahap define memiliki banyak elemen termasuk didalamnya aktivitas pendukung yang aktivitas pengguna secara personal atau kelompok (misalnya untuk mendesain sebuah rumah perlu mengetahui aktivitas seluruh anggota keluarga).
  3. Meneliti (Research), di sini kita perlu memperhatikan kebutuhan personal pengguna untuk membuat desain yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Kita buat pemetaan kebutuhan dengan menggunakan sudut pandang pengguna, dan menerapkan psikologi manusia yang dipelajari dalam teori perilaku saat kuliah. Boleh dikatakan arsitek harus bisa menceritakan sifat dan preferensi pengguna dalam sebuah cerita yang menjelaskan peran dan kebutuhan mereka, hobby dan kebiasaannya, dan cita-cita tentang bangunan setelah siap dihuni.

Sebagai contoh saat arsitek mendapat tugas merancang gedung rawat jalan di rumah sakit ortopedik. Tinjauannya adalah kepada kebutuhan pengguna, diantaranya pasien yang datang tentunya punya masalah tulang, menggunakan kruk, kursi roda atau brankar, dan para dokter spesialis ortopedik yang membutuhkan ruang poli yang cukup dimasuki brankar pasien. Sehingga solusinya adalah desain jalur sirkulasi yang lebar, dan luasan ruang poli yang luas dengan pintu masuk dobel.

Selain permasalahan pengguna, arsitek juga perlu merumuskan masalah yang dibutuhkan bangunan seperti kualitas ruang, efisiensi energi, kekokohan, dan kemudahan perawatannya. Sehingga saat merancang perlu dipikirkan kelemahan yang mungkin terjadi saat pelaksanaan pembangunannya. Apakah materialnya tersedia, dan apakah kontraktor dan pengawasan proyek akan mampu melaksanakannya.

  1. Menginspirasi (Ideate), adalah membuat sebuah ide. Dibutuhkan untuk menghasilkan gagasan-gagasan kreatif dan konsep desain yang berpotensi memecahkan masalah desain atau menciptakan inovasi. Menurut Nielsen Norman Group , ideate adalah proses menghasilkan seperangkat ide yang luas berdasarkan topik tertentu tanpa ada upaya untuk menghakimi. Untuk membangun ide-ide perlu dilakukan sesi brainstorm yang melibatkan tim perencana dan pemilik, dan apabila itu bangunan public maka melibatkan pemangku kepentingan juga dalam proyek arsitektur. Ide-ide apapun diterima, didiskusikan, dan diambil kesepakatan untuk modal arsitek mulai merancang.
  2. Menciptakan model (Prototype); setelah mulai merancang, arsitek membawa sketsa atau draft rancangannya untuk dipresentasikan kepada pengguna. Perencana perlu membuat beberapa alternatif desain yang ditawarkan, dengan alasannya masing-masing, menggunakan model berbentuk fisik (gambar konsep desain, gambar denah tampak potongan, skematik desain) dan gambar 3D/ maket. Gambar 3D dan animasi adalah interactive prototypes , karena memungkinkan pengguna yang umumnya bukan arsitek berinteraksi dengan elemen-elemen desain (misalnya bentuk ruangan, tampak depan bangunan), bagaimana aktivitas pengguna di dalam bangunan nantinya, danbagaimana interaksi antara pengguna dan bangunan. Skala gambar, maket, dan gambar digital yang akurat seperti nantinya kondisi terbangun. Arsitek perlu menyampaikan tahapan perencanaan. bagaimana kita membutuhkan data lengkap untuk mengorganisasikannya, sehingga proses desain dapat berjalan lancar, efisien dan efektif.
  3. Memilih (choose), alternative desain yang dipresentasikan akan dipilih salah satu untuk dibuat desain detailnya. Atau apabila tidak ada yang cocok maka arsitek perlu melalui siklus feedback tadi, hingga didapat kesepakatan. Setelah disepakati semestinya sudah tidak ada lagi perubahan konsep desain, dan mulailah penyusunan DED (Detail Engineering Design) yang mengedepankan kebaruan dan inovasi.
  4. Melaksanakan (Implement), setelah gambar DED selesai, maka proses pembangunan dapat dimulai. Arsitek perlu menentukan titik awal pengukuran di lapangan (uit-set), dan melakukan pengawasan berkala saat pembangunan. Setelah bangunan dipergunakan, para arsitek perlu menguji produk bangunan / lingkungan yang telah dirancang dan dibangun. Ini adalah tahap akhir dari design thinking, tetapi dalam proses siklus, hasil yang diperoleh selama fase testing sering digunakan untuk mendefinikan kembali satu atau lebih masalah dan mengkonfirmasi pengguna, kondisi penggunaan, perilaku, perasaan, dan empatinya terhadap bangunan produk perencanaan menggunakan metoda ini. dan penggunanya.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Priyo Suprobo (2012) tentang Penerapan Design Thinking dalam Inovasi Pembelajaran Desain dan Arsitektur, dinyatakan bahwa design thinking memberikan tingkat motivasi / dorongan bagi para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas perancangan yang diberikan. Menggunakan metoda design thinking juga menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir, keyakinan, dan pengetahuan seseorang tentang proses dan cara berpikir yang dilakukannya sendiri. Ini yang menjadi alasan tulisan ini dibuat untuk mendorong para Arsitek Muda lebih peka terhadap kebutuhan penggunanya dalam penciptaan karya-karya desainnya.

Penulis :

Ar. Ratri Septina Saraswati, IAI