Membalik Akses Masjid Layur

Masjid Layur, sebuah bangunan cagar budaya yang terletak di Kota Semarang, memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan kota dan penyebaran agama Islam di Jawa. Masjid ini menjadi simbol sejarah masuknya Islam ke Jawa melalui gerbang Kota Semarang. Berlokasi di kawasan Kampung Melayu, masjid ini dikelilingi oleh makam-makam waliullah, imam besar, dan habaib, yang menjadikannya pusat kehidupan Islami. Berbagai tradisi Islam diadakan secara berkala dengan partisipasi jamaah dari berbagai penjuru negeri, memperlihatkan betapa eratnya hubungan masjid ini dengan kehidupan religius masyarakat.

Sebagai salah satu masjid tertua di Semarang, Masjid Layur dibangun pada abad ke-15, bertepatan dengan masa ketika Islam mulai menyebar di Jawa melalui jalur perdagangan. Para pedagang Muslim dari Gujarat, Arab, dan Persia membawa ajaran Islam ke Semarang, menjadikannya salah satu pusat penyebaran agama Islam. Tokoh-tokoh penting seperti Sunan Kalijaga dan Kyai Sholeh Darat memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah ini.

Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat sosial dan pendidikan bagi masyarakat. Seiring berjalannya waktu, masjid ini menjadi simbol eksistensi umat Muslim di Semarang. Arsitektur Masjid Layur mencerminkan perpaduan antara budaya lokal dan unsur-unsur Islam. Elemen arsitektur tradisional Jawa dan desain Islam berpadu harmonis, menciptakan struktur sederhana namun megah. Ornamen khas dan struktur bangunan memperlihatkan pengaruh budaya lokal yang diadopsi dalam arsitektur masjid ini.

Dalam penelitiannya, Sari, D. (2020), dalam papernya berjudul “Masjid Layur: Simbol Perpaduan Budaya di Kota Semarang”, menjelaskan bagaimana Masjid Layur menjadi simbol harmoni antara budaya lokal dan pengaruh Islam. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan budaya yang memainkan peran penting dalam memperkuat identitas masyarakat Semarang. Arsitektur masjid yang menggabungkan elemen lokal dan Islam menjadi cermin dari perpaduan budaya yang terjadi di Semarang sejak dulu.

Pada abad ke-15, Semarang adalah pelabuhan penting yang menjadi jalur perdagangan internasional. Melalui interaksi dengan para pedagang Muslim, ajaran Islam diperkenalkan kepada penduduk lokal. Seiring waktu, Masjid Layur menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial, berperan sebagai titik pertemuan bagi para pedagang Muslim dari berbagai penjuru dunia.

Azra, Azyumardi (1994), dalam bukunya yang membahas sejarah penyebaran Islam di Nusantara, menjelaskan bagaimana Masjid Layur, bersama Menara Syahbandar yang berada di Jalan Sleko, menjadi bagian integral dari kegiatan pelayaran di masa lalu. Kapal-kapal yang masuk ke Kota Semarang dari Laut Jawa melalui Kali Semarang akan merapat di sebelah barat, di mana Masjid Layur terletak. Masjid ini menjadi tempat bagi para pelaut untuk membersihkan diri dan bersuci sebelum melanjutkan perjalanan. Dengan demikian, masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai bagian penting dari jaringan pelayaran internasional pada masa itu.

Masjid Layur merupakan contoh nyata dari pengaruh budaya lokal dalam arsitektur Islam. R.S.A. Mujahid (2012) dalam bukunya “Islamic Architecture in Southeast Asia” menjelaskan bahwa banyak masjid di Indonesia, termasuk Masjid Layur, mengadopsi elemen-elemen lokal seperti atap bertingkat dan ukiran kayu yang kaya akan simbolisme. Adaptasi arsitektur Islam terhadap budaya setempat ini memperlihatkan fleksibilitas Islam dalam menyatu dengan tradisi lokal.

Saat ini, Masjid Layur tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat kebudayaan dan interaksi sosial bagi masyarakat. Kegiatan keagamaan, pendidikan, dan acara budaya sering diadakan di masjid ini, menjadikannya sebagai landmark penting dalam sejarah Islam di Semarang. Kehadiran Masjid Layur menggambarkan perjalanan panjang umat Muslim di Semarang, dari masa lalu hingga saat ini.

Kampung Melayu, tempat Masjid Layur berdiri, merupakan salah satu dari empat kawasan bersejarah di Semarang yang ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 115/PW.007/MKP/2018. Kampung ini bersama Kampung Kauman, Kampung Pecinan, dan Oudestad (Kota Lama), membentuk kawasan “Semarang Lama”. Kawasan ini memiliki nilai sejarah yang tinggi sebagai pusat perdagangan dan interaksi sosial pada masa lalu.

Secara fisik, Masjid Layur terletak di antara Jalan Layur dan Kali Semarang, sebuah sungai bersejarah yang dulu menjadi akses utama Kota Semarang dengan dunia internasional. Di masa lalu, sungai ini digunakan sebagai jalur kapal menuju Semarang, dan Masjid Layur menjadi tempat pelayanan bagi para pelaut yang tiba di kota. Bersama dengan Menara Syahbandar, masjid ini menjadi bagian penting dari sejarah pelayaran di kawasan ini.

Namun, dengan berkembangnya transportasi darat, akses utama Masjid Layur yang dulunya dari arah sungai kini berubah menjadi dari Jalan Layur. Eko Setiawan dalam bukunya “Masjid-Masjid Bersejarah di Nusantara” (2012) menjelaskan bahwa Masjid Layur awalnya dibangun dengan struktur dua lantai. Lantai pertama yang kini terpendam di bawah tanah digunakan sebagai tempat untuk membersihkan diri dan berwudhu bagi para pelaut. Desain dua lantai ini mencerminkan pentingnya masjid sebagai pusat spiritual dan sosial bagi komunitas pelaut di masa lalu.

Pengembalian akses utama Masjid Layur dari arah timur, yaitu dari Kali Semarang, menjadi penting dalam upaya menjaga konteks sejarah dan budaya masjid ini. Pemerintah Kota Semarang telah melakukan penataan koridor Kali Semarang sebagai jalur wisata “riverside-walks”, yang juga menjadi akses masjid. Selain itu, pembangunan jembatan penghubung di atas Kali Semarang yang menghubungkan kawasan Masjid Layur dengan kawasan Sleko, renovasi bangunan cagar budaya Menara Syahbandar Sleko, dan penataan Taman Sleko di tepi kali menjadi langkah penting untuk mendukung integrasi kawasan ini.

Untuk masa depan, perlu dikembangkan kajian arsitektur kawasan Masjid Layur yang terintegrasi dan kontekstual. Upaya untuk membuka kembali lantai pertama masjid yang terpendam serta mengembalikan akses dari Kali Semarang dapat memperkuat keterkaitan historis antara masjid ini dengan masa kejayaan pelayaran dan perdagangan di Semarang. Keterhubungan antara Masjid Layur di Kampung Melayu dan Menara Syahbandar Sleko di Kota Lama juga diharapkan dapat mempersempit kesenjangan fisik dan visual antara dua kawasan bersejarah tersebut.

Penulis :

Ar. Indriastjario, IAI