Konfigurasi Lay Out Ruang Terapi Ablasi

Dengan meningkatnya penderita kanker di Indonesia , maka Kementerian Kesehatan sedang gencar untuk mendukung pembangunan ruang terapi ablasi di berbagai rumah sakit di Indonesia. Terapi Ablasi merupakan salah satu prosedur pengobatan dalam Kedokteran Nuklir khususnya untuk penanganan penyakit kanker tiroid.

Dalam rencana pembangunan konstruksi fasilitas kedokteran nuklir akan mempertimbangkan banyak aspek yang harus dipenuhi,khusunya terkait dengan pananganan bahaya radiasi yang muncul akibat penggunaan radiofarmaka pada pasien . Salah satu aspek terpenting adalah rancang bangun dan metode perhitungan radiasi yang muncul akibat jenis pengobatannya dengan meminimalisasi bahaya akibat radiasi tersebut terutama pada lingkungan sekitar (keluarga pasien, pasien lainnya, petugas dan dokter yang bersangkutan).

Penerapan terapi ablasi adalah dengan cara penggunaan obat berupa radiofarmaka sejenis Iodium 131 yang diminum oleh pasien, konsekuensi dari prosedur ini adalah munculnya radiasi dari tubuh pasien yang harus dikelola sehingga tidak mempengaruhi orang lain akibat pancaran radiasi tersebut. Proses pancaran radiasi ini akan bervariasi keberlangsungannya dari yang paling lama rata-rata akan berlangsung maksimal 5 hari.

 

Dengan kondisi dari pengobatan ini maka diperlukan ruang khusus berupa ruang isolasi untuk pasien yang menerima pengobatan ini sehingga pasien bisa dapat beraktifitas namun radiasinya tidak mengenai orang lain.

Sebagai salah satu studi kasus terkait penyediaan ruang terapi ablasi tersebut adalah perencanaan Ruang Kedokteran Nuklir di RSUP IGNG Ngoerah di Denpasar yaitu dengan pembangunan Gedung Kedokteran Nuklir terdiri 2 lantai dimana lantai 1 terdapat fasilitas PET Scan dan Spect CT dan pada lantai 2 nya digunakan untuk ruang terapi ablasi.

Gambar 1 : Lay out Ruang Terapi Ablasi. Terdapat 6 ruang isolasi untuk Terapi Ablasi yang dilengkapi dengan Ruang nurse station, transit limbah, ruang simpan linen bersih, ruang tunggu danruang dokter

 

Secara konsep untuk menahan radiasi maka dilakukan penebalan dinding ruang isolasi dengan tebal dinding pasangan bata 1 (satu) batu atau tebal 30 cm dengan spesi trasraam (spesi plester 1 : 2) dan kombinasi pintu timbal (Pb) . Terdapat ruang antara yang digunakan untuk transfer makanan , pakaian dan perlengkapan lainnya dari petugas ke pasien dimana pelaksanaannya petugas menaruh bahan yang akan dikirimkan ke pasien dan kemudian pasien mengambilnya setelah petugas meninggalkan ruang antara tersebut. Karena kebetulan desain posisi ruang terapi ablasi tersebut berada di lantai 2 yang di sekitar ruang terapi ablasi ini tidak terdapat ruang lainnya maupun ruang sirkulasi maka dapat dipasang jendela pada ruang isolasi tersebut untuk view pasien melihat ke arah luar ruang, bila di sekitar ruang terdapat akses lainnya maka jendela yang dibuat juga harus menggunakan kaca Pb. Fasilitas yang melengkapi ruang adalah bed pasien, rak/meja samping dan TV untuk hiburan serta alat komunikasi antara pasien dan petugas, toilet pasien juga spesifik terkait proteksi dari buangan saluran ke penmapungan limbah.

Gambar 2 : Sumber radiasi dan jenis proteksi. Kajian sumber radiasi dan pengaruhnya terhadap pemilihan proteksi yang dilakukan dan penebalan dinding yang diperlukan

Dengan demikian prinsip pemberlakuan proteksi pada ruang terapi ablasi adalah proteksi dari pancaran radiasi tubuh pasien , selain penebalan dinding dan pintu lapis Pb untuk buangan dari pasien juga dikelola secara khusus yaitu penyaluran buangan dialirkan secara terpisah dengan fasilitas lain yang menghasilkan buangan, dan dikelola terlebih dahulu pada bak penampungan yang akan mengakomodasi waktu paruh buangan tersebut sebelum disalurkan ke pengolahan limbah.

Sehingga desain baik lay out , dinding penahan radiasi maupun pengelolaan limbah dari ruang isolasi terapi ablasi harus memperhatikan persyaratan teknis untuk pengelolaan bahaya radiasi bagi petugas dan personil lainnya selain pasien yang mendapat perawatan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penulis :

Ar. Sri Hartuti Wahyuningrum, IAI